Selasa, 01 Desember 2009

Anak Terhilang Gambaran Keterhilangan Umat Manusia

Nats: Lukas 15:11-32

Pengkhotbah : Ev. Solomon Yo

Pendahuluan.

Per­um­pamaan dalam Lukas 15:11-32 ini dapat dibagi menjadi 4 bagian: (1) ayat 11, intro­duksi: seorang bapak mem­punyai dua anak laki-laki. (2) ayat 12-20a, si bungsu me­nun­tut hak­, menjual semua hartanya, pergi ke negeri jauh, memboroskan uangnya de­ngan berfoya-foya, men­jadi melarat, bertobat dan pulang ke rumah bapanya. (3) ayat 20b-24, sang bapa dengan kemurahan hati menerima kembali anaknya yang kurang ajar. (4) ayat 25-32, Suatu kontras antara respons sang bapa dan si sulung dalam menyikapi kembalinya si bungsu. si sulung marah karena menilai kebaikan dalam menerima kembali si bungsu terlalu berlebihan, lalu sang bapa coba memberikan pengertian kepadanya.

Yesus menyampaikan perumpamaan ini, dan dua perumpamaan sebelumnya dalam Lukas 15, untuk menjawab protes orang Farisi dan ahli Taurat (ayat 1-2) karena melihat Dia, seorang Rabi dan Nabi yang terhormat, mau bergaul dengan orang-orang berdosa, se­hing­ga berisiko menajiskan diri dan merusak keluhuran agama Yahudi. Tuhan Yesus me­nyam­paikan tiga perumpamaan ini untuk mengajarkan bahwa Allah begitu mencintai orang berdosa, kasih-Nya menjangkau orang berdosa dan sangat bersukacita untuk mem­bawa dan menerima mereka kembali. Apa yang dilakukan oleh Yesus adalah sejalan dengan hati Bapa sehingga mesti bukan dicela, tetapi diteladani.

Dalam menafsirkan sebuah perumpamaan, kita harus ingat bahwa kita tidak boleh menafsirkannya secara alegoris yang tidak bertanggung jawab, misalnya menjelaskan anak lembu tambun itu sebagai gambaran Yesus yang disalibkan. Alegoris sering membuat sebuah khotbah terlihat seru. Jika disampaikan oleh hamba Tuhan yang memiliki pengertian doktrin dan etika yang benar, maka nasihat-nasihatnya bisa sangat membangun walaupun secara hermeneutik tidak tepat. Tetapi jika diserahkan kepada orang yang memiliki pengertian doktrin yang salah, maka seakan-akan ia memiliki pem­benaran dari Alkitab atas pengajarannya yang salah itu. Seyogianya firman Tuhan harus mengontrol setiap pengajaran dan nasihat yang diberikan dari mimbar. Itulah signifikansi hermeneutika. Sebuah perumpamaan memiliki makna tertentu yang dimaksudkan. Wa­lau­pun kita tidak boleh terlalu kaku pada satu tujuan/makna. Adanya banyak detail yang diberikan Yesus dalam perumpamaan ini tentunya bukan sekadar asesoris yang tak ber­guna, melainkan ada banyak pengajaran penting yang hendak disampaikan di dalamnya. Perumpamaan dalam Lukas 15:11-32 ini jelas mengandung banyak makna yang mendalam. Tetapi dalam perenungan ini, kita akan memfokuskan pada kehidupan si bungsu.

Perum­pamaan ini hendak menekankan kasih Allah yang sangat besar dan sukacita ketika seorang berdosa bertobat. Tetapi jika tidak memahami kisah ini (dan nas Alkitab mana pun) dalam konteks seluruh Alkitab maka kita akan terjerumus ke dalam konsepsi yang salah ten­tang Allah dan kehidupan Kristen. Satu perumpamaan tidak mungkin dapat memberikan seluruh kompedium theologis, tidaklah mungkin satu sistem theologia yang lengkap tercakup di dalamnya.

Ada satu bagian Alkitab yang tidak boleh kita lewatkan dalam memahami per­um­pamaan ini, yaitu Ulangan 21:18-21. Anak yang hidup tidak keruan harus dihukum berat. Walaupun kedua orangtua mengasihi setiap anaknya, tetapi jikalau anaknya adalah orang yang degil hati, peminum, maka haruslah dihapuskan dari masyarakat kudus. Anak bung­su dalam perumpamaan ini adalah seorang peminum, pelahap, maksiat dalam pelacuran, kurang ajar kepada orang tua. Anak demikian seharusnya dihukum mati! Komentar si bapa tentang anaknya saat ia kembali adalah: anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali (ayat 24).

Dengan latar belakang demikian kita harus mengerti kasih Allah yang mau disampai­kan dalam kisah ini. Kasih Allah bukanlah kasih yang lembek, yang mengabaikan keku­dus­an dan kompromi dengan kenajisan. Pemahaman yang salah akan kasih Allah akan me­nim­bulkan kekurangajaran, maka pemahaman akan kasih Allah harus kita kaitkan dengan keadilan, kesucian, kemarahan Tuhan terhadap dosa. Hal itu nyata dalam berita Injil, beri­ta salib, karya Tuhan Yesus Kristus. Kasih Allah adalah kasih yang kudus, yang besar, yang menuntut setiap dosa dihukum setimpal, dan untuk itu Anak-Nya sendiri harus menang­gung hukuman atas dosa di atas kayu salib.

Orang yang mengalami kasih Allah yang kudus dan adil akan menyadari anugerah Tuhan yang

luar biasa dalam suatu pertobatan dan hidup baru yang sungguh-sungguh. Pengalaman pertobatan sejati demikian, tidak memberi tempat untuk tawar menawar dengan Tuhan, bersungut-sungut kepada Tuhan, karena menyadari akan keberdosaannya yang seharusnya dihukum mati tetapi masih boleh mendapatkan anugerah-Nya.

Berikutnya kita akan menelusuri langkah-langkah kemerosotan si bungsu sampai akhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar